Kamis, 03 Desember 2015

Cara Pembuatan Gula Semut Organik

Pelatihan bekerjasama dengan BP2KP , Dishutbun Kabupaten Cilacap,  Semen Holcim,  serta dosen dari Unsoed Pwt Tgl 23-24  April 2013 di KT Sipanggang Desa Karangsari Adipala



Pengrajin Gula kelapa atau lebih dikenal dengan gula merah atau gula jawa mungkin sudah tidak asing lagi, khususnya untuk masyarakat jawa, gula kelapa banyak dimanfaatkan untuk berbagai makanan dan minuman sehari-hari, pemanfaatan gula kelapa sebagai salah satu bahan baku pembuatan makanan ternyata tidak hanya di tingkat rumah tangga, namun gula kelapa juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri seperti pabrik kecap dan insdustri dodol serta jenang.
Pengrajin gula kelapa merupakan industri rumah tangga yang cukup terkenal di Kabupaten Cilacap  Jawa Tengah. Sebagian besar warga  di Cilacap merupakan pengrajin gula kelapa. Bahkan kerajinan pembuatan gula jawa ini sudah dilakoni hingga turun temurun oleh warganya.
Banyaknya makanan yang berbahan dasar gula kelapa ini karena aroma serta rasa yang khas karamel palma sangat cocok untuk menambah citarasa pada makanan, rasa karamel dan pasta yang ada di gula kelapa memang tidak bisa digantikan dengan jenis gula lain seperti gula tebu. Selain pemanfaatan gula kelapa sebagai gula cetak, saat ini gula kelapa juga dimanfaatkan dalam bentuk serbuk atau lebih dikenal dengan nama gula semut organik atau gula kristal.
Dinamakan gula semut ini karena bentuknya yang menyerupai dengan sarang semut yang ada di tanah. Gula semut juga memiliki beberapa kelebihan dibanding gula cetak pada umumnya, yakni dapat tahan lama disimpan dalam jangka waktu hingga dua tahun tanpa mengalami perubahan warna dan rasa jika di bungkus dalam tempat yang rapat, ini karena kadar air yang terdapat pada gula semut hanya berkisar 2-3 persen.
Dalam pembuatannya pun tidak berbeda dengan cara membuat gula cetak, yakni melalui proses pengambilan air nira yang dilakukan para penderes kelapa. Pagi itu Mardi warga desa Karangsari Adipala mulai beranjak dari rumahnya untuk menuju pohon kelapa miliknya yang berada di sekitaran rumahnya, biasanya dia mulai beraktifitas menyadap air nira sekitar pukul 05.30 – 09.00 WIB dan mengambil air nira di atas pohon yang tingginya kira-kira mencapai 30 meter, dan bukan hanya satu pohon yang dia panjat melainkan 9 pohon pada pagi hari. Dia akan melanjutkan naik dan menyadap air nira itu pada sore harinya yakni sekitar pukul 16.00 – 18.00 WIB. Itu biasa dilakukan Mardi setiap harinya untuk menghasilkan gula semut organik.
Saat memanjat pohon biasanya Mardi yang lebih dikenal dengan sebutan penderes ini naik keatas pohon kelapa dengan membawa beberapa pongkor yang terbuat dari bambu atau wadah air nira yang sudah diberikan laru alami dari kapur dan cangkang manggis untuk mencegah terjadinya fermentasi. Jika laru tersebut tidak diberikan pada pongkor makan bisa menyebabkan air nira berubah menjadi asam. Ketika berada di atas pohon, Mardi dan para penderes lainnya akan mengambil air nira di dalam pongkor yang sebelumnya sudah dipasang untuk kemudian menggantinya dengan pongkor yang baru setelah sebelumnya menyayat bunga kelapa (Manggar) dengan sayatan baru agar air nira dapat kembali keluar.
“Air nira dapat terisi setelah 7-8 jam. Tapi setelah mendapat air nira jangan menunggu hingga 2 jam, itu harus segera di proses memasak agar air nira tidak berubah menjadi arak,” kata Mardi, petani gula organik Desa Karangsari, Kecamatan Adipala Cilacap.
Setelah Mardi turun dan membawa hasil Air nira yang di dapatnya hari ini, ibu mardi yang merupakan istri Mardi dan warga sekitar yang mengikuti pelatihan  sibuk mempersiapkan tungku untuk memasak hasil air nira yang disadap suaminya tersebut. Dengan telaten dia memasukkan serbuk hasil gergajian kayu kedalam tungku pembakaran agar api dapat menyala dengan merata. Asap putih mengepul dengan sangat pekat membakar seluruh gergajian kayu yang sebelumnya dimasukkan, wajan pun di pasang dan air nira pun di tuangkan hingga mendidih dengan suhu antara 10-120 derajat celcius.
Untuk mengahasilkan gula semut setidaknya butuh waktu sekitar 4 jam hingga air nira benar-benar siap untuk dibuat gula semut. Saat nira mendidih, air nira akan tampak berwarna kecoklatan dan berbuih, Ketika berbuih itulah ibu mardi  dengan hati-hati menyerok buih-buih yang menggumpal di sekitaran wajan untuk memisahkan buih dari kotoran yang ada.
“Agar buihnya tidak meluap, kita tambahkan satu sendok makan minyak kelapa,” jelas ibu mardi yang sebelumnya merupakan pengrajin gula cetak dan beralih ke gula semut organik setelah melihat pasar gula semut organik yang sangat menjanjikan.
Ketika air nira sudah mulai mengental dan meletup-lletup, Mardi mulai mengecilkan api di tungku dengan cara menumpuk serbuk kayu ke segala arah agar tidak ada udara yang masuk kedalam tungku. Ini dimaksudkan agar nira tidak hangus saat dilakukan pengadukan. Dengan sigap tangan ibu mardi terus mengaduk-aduk air nira yang ada didalam wajan yang sudah terlihat mulai menggumpal dan memadat serta mulai mengeras, pengadukan mulai dilakukan dengan gerakan memutar di dalam wajan agar kekentalan gula merata di setiap sisi wajan dan mulai mengkristal.
Setelah air nira tersebut keras, kemudian ibu mardi dan Mardi mengangkat tungku wajan tersebut menggunakan sebilah kayu dan meletakkannya di sebuah ban untuk menjaga agar wajan tidak tumpah. ibu mardi dan Mardi pun mulai melakukan penghalusan gula tersebut dengan menggunakan batok kelapa atau lebih dengan ‘diguser’. Tapi untuk menjaga kualitas dan standar pembuatan gula semut organik, pasangan suami istri tersebut harus menggunakan penutup kepala dan masker, ini dimaksudkan agar rambut atau keringat mereka tidak masuk kedalam wajan yang berisi gula semut yang sedang di haluskan. Gula yang
sudah di guser kemudian diayak untuk memisahkan gula halus dan gula yang masih kasar.
‘Kalau masih kasar kita guser lagi sampai halus, setelah itu diayak kembali. Kalau sudah selesai baru kita jemur gula semut yang sudah jadi kurang lebih 6 jam di bawah terik matahari,” ujarnya yang merupakan bendahara  kelompok tani Sipanggang ini.
Ibu mardi menjelaskan, dulu dirinya merupakan pengrajin gula kelapa cetak, namun setelah mencoba ke gula semut organik, kehidupannya berangsur-angsur baik, dengan perbandingan harga yang jauh dibanding harga gula cetak yang saat ini hanya berkisar Rp. 7 ribu per kilogram. “Sangat berbeda setelah saya beralih dari gula cetak ke gula semut, terutama masalah harga. Gula semut saat ini harganya Rp. 12 ribu perkilogram namun kendala untuk pemasaran gula semut ini masih sulit,” jelasnya.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GERDAL HAMA WERENG COKLAT DI DESA PEDASONG KEC ADIPALA KAB CILACAP

 H ama wereng hingga saat ini masih menjadi hama yang ditakuti oleh petani selain tikus di wilayah Cilacap khususnya  Adi...