Pelatihan
bekerjasama dengan BP2KP , Dishutbun Kabupaten Cilacap, Semen Holcim, serta dosen dari Unsoed Pwt Tgl 23-24 April 2013 di KT Sipanggang Desa Karangsari Adipala
Pengrajin Gula kelapa atau
lebih dikenal dengan gula merah atau gula jawa mungkin sudah tidak asing lagi,
khususnya untuk masyarakat
jawa, gula kelapa banyak dimanfaatkan
untuk berbagai makanan dan minuman sehari-hari, pemanfaatan gula kelapa sebagai
salah satu bahan baku pembuatan makanan ternyata tidak hanya di tingkat rumah tangga,
namun gula kelapa juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri seperti pabrik
kecap dan insdustri dodol serta jenang.
Pengrajin gula kelapa merupakan industri rumah
tangga yang cukup
terkenal di Kabupaten Cilacap Jawa
Tengah. Sebagian besar warga di Cilacap merupakan pengrajin gula
kelapa. Bahkan kerajinan pembuatan gula jawa ini sudah dilakoni hingga turun
temurun oleh warganya.
Banyaknya makanan yang berbahan dasar gula kelapa
ini karena aroma serta rasa yang khas karamel palma sangat cocok untuk menambah
citarasa pada makanan, rasa karamel dan pasta yang ada di gula kelapa memang tidak
bisa digantikan dengan jenis gula lain seperti gula tebu. Selain pemanfaatan
gula kelapa sebagai gula cetak, saat ini gula kelapa juga dimanfaatkan dalam
bentuk serbuk atau lebih dikenal dengan nama gula semut organik atau
gula kristal.
Dinamakan gula semut ini karena bentuknya yang
menyerupai dengan sarang semut yang ada di tanah. Gula semut juga memiliki
beberapa kelebihan dibanding gula cetak pada umumnya, yakni dapat tahan
lama disimpan
dalam jangka waktu hingga dua tahun tanpa mengalami perubahan warna dan rasa
jika di bungkus dalam tempat yang rapat, ini karena kadar air yang terdapat
pada gula semut hanya berkisar 2-3 persen.
Dalam
pembuatannya pun tidak berbeda dengan cara membuat gula cetak, yakni melalui
proses pengambilan air nira yang dilakukan para penderes kelapa. Pagi itu Mardi
warga desa Karangsari Adipala mulai beranjak dari rumahnya untuk menuju pohon
kelapa miliknya yang berada di sekitaran rumahnya, biasanya dia mulai
beraktifitas menyadap air nira sekitar pukul 05.30 – 09.00 WIB dan mengambil
air nira di atas pohon yang tingginya kira-kira mencapai 30 meter, dan bukan
hanya satu pohon yang dia panjat melainkan 9 pohon pada pagi hari. Dia akan
melanjutkan naik dan menyadap air nira itu pada sore harinya yakni sekitar
pukul 16.00 – 18.00 WIB. Itu biasa dilakukan Mardi setiap harinya untuk
menghasilkan gula semut organik.
Saat
memanjat pohon biasanya Mardi yang lebih dikenal dengan sebutan penderes ini
naik keatas pohon kelapa dengan membawa beberapa pongkor yang terbuat dari
bambu atau wadah air nira yang sudah diberikan laru alami dari kapur dan
cangkang manggis untuk mencegah terjadinya fermentasi. Jika laru tersebut tidak
diberikan pada pongkor makan bisa menyebabkan air nira berubah menjadi asam.
Ketika berada di atas pohon, Mardi dan para penderes lainnya akan
mengambil air nira di dalam pongkor yang sebelumnya sudah dipasang untuk
kemudian menggantinya dengan pongkor yang baru setelah sebelumnya menyayat
bunga kelapa (Manggar) dengan sayatan baru agar air nira dapat kembali keluar.
“Air nira
dapat terisi setelah 7-8 jam. Tapi setelah mendapat air nira jangan menunggu
hingga 2 jam, itu harus segera di proses memasak agar air nira tidak berubah
menjadi arak,” kata Mardi, petani gula organik Desa Karangsari, Kecamatan Adipala
Cilacap.
Setelah Mardi turun dan membawa hasil Air nira yang
di dapatnya hari ini, ibu mardi yang merupakan istri Mardi dan warga sekitar
yang mengikuti pelatihan sibuk
mempersiapkan tungku untuk memasak hasil air nira yang disadap suaminya
tersebut. Dengan telaten dia memasukkan serbuk hasil gergajian kayu kedalam
tungku pembakaran agar api dapat menyala dengan merata. Asap putih mengepul
dengan sangat pekat membakar seluruh gergajian kayu yang sebelumnya dimasukkan,
wajan pun di pasang dan air nira pun di tuangkan hingga mendidih dengan suhu
antara 10-120 derajat celcius.
Untuk
mengahasilkan gula semut setidaknya butuh waktu sekitar 4 jam hingga air nira
benar-benar siap untuk dibuat gula semut. Saat nira mendidih, air nira akan
tampak berwarna kecoklatan dan berbuih, Ketika berbuih itulah ibu mardi dengan hati-hati menyerok buih-buih yang
menggumpal di sekitaran wajan untuk memisahkan buih dari kotoran yang ada.
“Agar buihnya tidak meluap, kita tambahkan satu sendok
makan minyak kelapa,” jelas ibu mardi yang sebelumnya merupakan pengrajin gula
cetak dan beralih ke gula semut organik setelah melihat pasar gula semut
organik yang sangat menjanjikan.
Ketika
air nira sudah mulai mengental dan meletup-lletup, Mardi mulai mengecilkan api
di tungku dengan cara menumpuk serbuk kayu ke segala arah agar tidak ada udara
yang masuk kedalam tungku. Ini dimaksudkan agar nira tidak hangus saat
dilakukan pengadukan. Dengan sigap tangan ibu mardi terus mengaduk-aduk air
nira yang ada didalam wajan yang sudah terlihat mulai menggumpal dan memadat serta mulai mengeras, pengadukan mulai dilakukan
dengan gerakan memutar di dalam wajan agar kekentalan gula merata di setiap
sisi wajan dan mulai mengkristal.
Setelah air nira tersebut keras, kemudian ibu mardi
dan Mardi mengangkat tungku wajan tersebut menggunakan sebilah kayu dan
meletakkannya di sebuah ban untuk menjaga agar wajan tidak tumpah. ibu mardi dan
Mardi pun mulai melakukan penghalusan gula tersebut dengan menggunakan batok
kelapa atau lebih dengan ‘diguser’. Tapi untuk menjaga kualitas dan standar
pembuatan gula semut organik, pasangan suami istri tersebut harus menggunakan
penutup kepala dan masker, ini dimaksudkan agar rambut atau keringat mereka
tidak masuk kedalam wajan yang berisi gula semut yang sedang di haluskan. Gula
yang
sudah di guser kemudian diayak untuk memisahkan gula halus dan gula yang masih kasar.
sudah di guser kemudian diayak untuk memisahkan gula halus dan gula yang masih kasar.
‘Kalau
masih kasar kita guser lagi sampai halus, setelah itu diayak kembali. Kalau
sudah selesai baru kita jemur gula semut yang sudah jadi kurang lebih 6 jam di
bawah terik matahari,” ujarnya yang merupakan bendahara kelompok tani Sipanggang ini.
Ibu mardi
menjelaskan, dulu dirinya merupakan pengrajin gula kelapa cetak, namun setelah mencoba
ke gula semut organik, kehidupannya berangsur-angsur baik, dengan
perbandingan harga yang
jauh dibanding harga gula cetak yang saat ini hanya berkisar Rp. 7 ribu per
kilogram. “Sangat berbeda setelah saya beralih dari gula cetak ke gula semut,
terutama masalah harga. Gula semut saat ini harganya Rp. 12 ribu perkilogram
namun kendala untuk pemasaran gula semut ini masih sulit,” jelasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar